Selasa, 21 April 2009

Manfaat Terumbu Karang




FUNGSI DAN MANFAAT TERUMBU KARANG DAN P
ERANNYA TERHADAP SISTEM PERIKANAN

Fungsi terumbu karang
Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks dan produktif. Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang rentan terhadap perubahan lingkungan, namun tekanan yang dialaminya semakin meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan aktivitas masyarakat di wilayah pesisir. Tingginya tekanan ini diakibatkan oleh banyaknya manfaat dan fungsi yang disediakan oleh terumbu karang dengan daya dukung yang terbatas, sedangkan kebutuhan manusia terus bertambah sepanjang waktu. Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Banyaknya spesies makhluk hidup laut yang dapat ditemukan di terumbu karang menjadikan ekosistem ini sebagai gudang keanekaragaman hayati laut. Saat ini, peran terumbu karang sebagai gudang keanekaragaman hayati menjadikannya sebagai sumber penting bagi berbagai bahan bioaktif yang diperlukan di bidang medis dan farmasi.



Struktur masif dan kokoh dari terumbu berfungsi sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hut
an mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbentuk sejak ratusan juta tahun yang lalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi. Ekosistem ini juga berperan penting dalam siklus biogeokimia secara global, karena kemampuannya menahan nutrien-nutrien dalam sistem terumbu dan perannya sebagai kolam untuk menampung segala bahan yang berasal dari luar sistem terumbu. Secara umum, keseluruhan fungsi yang disediakan oleh terumbu karang dapat digolongkan menjadi fungsi fisik, fungsi kimia, dan fungsi biologi dane kologi. Manfaat terumbu karang Dalam konteks ekonomi, terumbu karang menyediakan sejumlah manfaat yang dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu manfaat berkelanjutan dan manfaat yang tidak berkelanjutan.

MANFAAT BERKELANJUTAN
  • Perikanan lepas pantai Berbagai sumberdaya ikan pelagis (mis. Scombridae, Exocoetidae, Carangidae, Charcharinidae) bergantung pada ekosistem terumbu karang, baik sebagai lokasi memijah, membesarkan anak, dan makan.
  • Perikanan terumbu Empat kelompok sumberdaya ikan terumbu yang penting bagi nelayan:
  1. Ikan, mis. Muraenidae, Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, dll
  2. Avertebrata, mis. Gastropoda, Bivalva, Krustasea, Cephalopoda, Ekhinodermata, Coelenterata
  3. Reptil, mis. ular laut dan penyu
  4. Makrofita, mis. alga dan lamun
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh manusia dari ekosistem terumbu karang, perlu diatur pengelolaannya karena terumbu karang merupakan ekosistem yang rentan akan perubahan lingkungan dan memiliki daya dukung terbatas. Dengan demikian, beberapa manfaat berkelanjutan yang awalnya mampu disediakan pada akhirnya tidak berkelanjutan karena laju pemanfaatannya yang berlebihan atau metode yang digunakan bersifat merusak (destruktif) seperti penangkapan ikan menggunakan racun sianida atau bom. Aktivitas seperti pengumpulan biota ornamental (kerang Conus, bintang laut Linckia) yang pada awalnya hanya bertujuan sebagai hobi atau koleksi, apabila sudah bersifat ekstraktif dan bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar (perdagangan) akan berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem alami terumbu karang. Dampak terbesar dan paling merusak yang mungkin terjadi atas ekosistem terumbu karang adalah pembangunan pesisir yang pesat akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan meningkatnya berbagai kebutuhan manusia (pemukiman, perikanan, industri, pelabuhan, dan lain-lain). Hal ini akan memicu peningkatan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya hayati yang terkandung di dalamnya.

MANFAAT YANG TIDAK BERKELANJUTAN
  • Aktivitas ekstratif
  • Perikanan dengan metode destruktif
  • Pengumpulan organisme terumbu
  • Perdagangan biota ornamental
  • Pembangunan pesisir
Manfaat terumbu karang dapat berkurang atau bahkan musnah apabila di wilayah pesisir terdapat aktivitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan Peranan terumbu karang terhadap sistem perikanan Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan tinggi keanekaragamanhayatinya. Produktivitas primer yang tinggi dan kompleksnya habitat yang terdapat di ekosistem terumbu karang memungkinkan Ekologi Laut Tropis daerah ini berperan sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tempat mencari makan berbagai spesies ikan dan biota laut lainnya. Dengan demikian, secara otomatis produksi sekunder (ikan dan biota laut lain) di daerah terumbu karang juga sangat tinggi. Komunitas ikan di ekosistem terumbu karang terdapat dalam jumlah yang besar dan terlihat mengisi seluruh daerah di terumbu, sehingga dapat dikatakan bahwa ikan merupakan penyokong berbagai macam hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu. Tingginya keanekaragaman jenis dan kelimpahan komunitas ikan di ekosistem terumbu disebabkan oleh tingginya variasi habitat terumbu atau beragamnya relung (niche) dari spesies-spesies ikan tersebut. Habitat di terumbu tidak hanya tersusun oleh komunitas karang saja, melainkan juga terdiri atas daerah berpasir, ceruk dan celah, daerah alga, serta zona-zona yang berbeda yang melintasi hamparan terumbu. Selain keanekaan relung hidup yang tinggi, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu tingkat spesialisasi yang tinggi dari tiap spesies. Banyak spesies ikan yang memiliki kebutuhan yang sama sehingga terdapat persaingan aktif, baik antara spesies yang berbeda maupun antara spesies yang sama. Persaingan ini kemudian menuju pada pembentukan relung ekologi yang lebih sempit lagi. Dengan demikian, di ekosistem terumbu karang seringkali terlihat bahwa pergerakan banyak spesies ikan sangat terlokalisasi, terbatas pada daerah-daerah tertentu, dan terdapat perbedaan yang nyata antara ikan-ikan yang aktif di malam dan siang hari.

Sejumlah spesies ikan pelagis tergolong piscivor (pemangsa ikan-ikan lain), seperti hiu, kerapu, kuwe, dan kakap. Umumnya ikan-ikan piscivor berukuran besar, baik yang hidupnya di lingkungan pelagis maupun terkait erat dengan terumbu (kerapu), memiliki nilai ekonomis penting dan menjadi target utama dalam kegiatan perikanan tangkap. Komunitas ikan piscivor sangat bergantung pada keberadan terumbu karang, baik untuk memijah atau bertelur, membesarkan larva dan juvenilnya, serta mencari makan. Gambar 3 menjelaskan tentang peran terumbu karang dalam menyokong kehidupan ikan piscivor melalui mekanisme jejaring makanan. Dapat terlihat bahwa komunitas ikan piscivor tergolong sebagai top predator di ekosistem terumbu karang. Selain ikan piscivor, jenis ikan lain yang juga menjadi target tangkapan nelayan adalah ikan planktivor (pemakan plankton), terutama dari famili Caesionidae (ikan ekor kuning).



Senin, 06 April 2009

Double Bottom

Ukuran huruf

Air atau media pemeliharaan merupakan factor utama untuk kehidupan ikan. Kualitasnya menentukan kesehatan maupun pertumbuhan ikan, bahkan kualitas seperti warna ikan. Secara alami, air merupakan pelarut yang sangat baik sehingga hampir semua material dapat larut di dalamnya.

Sebagai media kehidupan ikan, keberadaan air sangat mutlak diperlukan. Jumlah dan kualitas air harus selalu menjadi perhatian agar kehidupan dan pertumbuhan ikan optimal. Sumber air bisa berasal dari air sungai, air hujan, atau air tanah.

Air merupakan kebutuhan pokok dalam masalah budidaya ikan. Kondisi air yang dibutuhkan harus bersih dan parameter kualitas air harus terjaga. Salah satu masalah dalam usaha ikan hias di DKI Jakarta adalah semakin berkurangnya air bersih. Teknologi Pengawetan Air merupakan jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Selain mudah, hemat biaya, hemat tenaga dan ramah lingkungan, teknologi ini juga hemat dalam penggunaan air.

Agar penggunaan air terkontrol dan tidak boros, dibutuhkan suatu pengelolaan air, salah satu diantaranya dengan pembuatan system resirkulasi air atau penggunaan filtrasi. System filtrasi dapat digunakan dalam system budidaya terbatas miasalnya penggunaannya dalam akuarium. Penggunaan system filtrasi dalam akuarium bias menggunukan system double bottom, yaitu system filtrasi yang berada didasar akuarium dengan menggunakan bahan filter mekanik dan menggunakan dorongan aerasi.

Air merupakan titik utam dan pertama dalam pemeliharaan kesehatan akuarium. Jika anda mampu memperlakukan dan menjaga kualitas air akuarium anda dengan baik, maka harapan untuk dapat menikmati keberadaan ikan-ikan yang sehat dan lucu serta akuarium yang indah akan dapat diwujudkan.

Terdapat beberapa jenis saringan (filter) yang dapat digunakan pada akuarium air tawar yang berfungsi menjaga kualitas air sebagai bagian penting dari kesehatan akuarium. Tingkat efektifitas masing-masing saringan ini berbeda-beda. Banyak orang menyebut system saringan ini dengan sirkulator atau sirkulasi, meskipun sebenarnya sirkulator adalah bagian dari system saringan. Berikut ini adalah beberapa tipe system saringan (filtration system) tersebut.

2.1 Power Akuarium Filter

Sebuah power filter adalah sebuah (kotak) saringan yang terletak dibagian luar tangki (akuarium) dan menggantung ke dalam akuarium, dan air jatuh seperti air mancur. Air dihisap oleh bak saringan, kemudian didorong melalui sebuah saringan yang terbentuk dari karbon dan serat-serat halus, kemudian di dorong lebih jauh keluar hingga air itu jatuh dari puncak filter dan masuk ke tangki akuarium.

2.2 Cannister Akuarium Filter

Cannister filter memungkinkan anda mendapatkan efisiensi maksimum dalam penggunaan saringan multi-jenis (biologis, kimiawi dan mekanis) dengan satu variasi media saringan. Desain filter membagi media ke dalam keranjang-keranjang yang dapat di akses dengan mudah, yang memungkinkan anda mengatur jenis dan proporsi yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, termasuk semua komponen penting dan porsi-porsi yang bersifat starter dari media karbon aktif, media saringan BioMax, yang didesain untuk induk semang koloni besar bakteri yang menguntungkan, dan blok-blok busa Fluval untuk menyaring buangan khusus secara mekanis.

2.3 Bio Wheel Akuarium Filter

Fitur saringan yang kompak pada filter biologis basah/kering Bio-Wheel yang berputar dapat menghilangkan amoniak dan nitrit dengan lebih cepat. Pompa yang dapat menyala dengan sendirinya ddapat men-start ulang (restart) secara otomatis setelah berhenti. Alat ini didesain tahan bocor dan mudah untuk dirawat. Kecepatan alirannya pun akurat.

2.4 Ander Gravel Akuarium Filter

Saringan bawah kerikil (undergravel filter) secara sederhana dapat digambarkan sebagai sebuah potongan (lempengan) plastic yang ditempatkan pada dasar akuarium dan membiarkan air mengalir di antara lempeng tersebut dan dasar akuarium. Ada sebuah pipa yang menempel pada potongan didasar akuarium ini, dikenal dengan nama pipa pengangkat. Kerikil ditempatkan diatas filter. Filter, pipa pengangkat, dan kerikil bekerja bersama-sama sebagai suatu saringan. Air ditarik kebawah menuju dasar akuarium, melalui kerikil, menuju lempeng dibawah kerikil tersebut, kemudian dialirkan kembali ke atas melalui pipa pengangkat. Air kemudian ditarik kembali ke bawah melalui kerikil. Hal ini memungkinkan bakteri-bakteri menguntungkan hidup berkembang pada oksigen yang dikandung oleh air yang mengalir melalui kerikil.

2.5 Wet-Dry Akuaroum Filter

Wet-Dry akuarium filter merupakn suatu system filtrasi kering/basah bawah tangki (akuarium) yang lengkap, melakukan penyaringan mekanis, kimiawi dan biologis dengan 100 % kontak air ke media untuk menghasilkan kualitas air yang sangat tinggi. Alat ini didesain dengan kecepatan aliran 300-500 gph (gallons per hour)

2.6 UV Sterilizer

Teknologi Helix UV sterilizer menggunakan sinar ultraviolet berpencahayaan tinggi untuk membunuh lebih dari 98 % mikroorganisme yang merugikan, mengeliminasi ganggang (algae) yang mengganggu kehidupan akuarium dan penyakit dalam akuarium anda.

2.7 Double Bottom

Double bottom atau saringan yang disebut undergrafer filter(GDU) sudah lama dikenal oleh para hobiis ikan hias. Filter ini umunya berupa saringan dari plastik gelombang atau kawat halus. Saringan ini menyebabkna adanya ruangan antara kasa dan dasar akuariumuntuk air bersih. Dengan menggunakan material seperti krikil atau pasir kasar yang akan mengikat kandungan zat-zat yang bersifat toksik bagi ikan yang ada di dalamnya.

Minggu, 05 April 2009

Sebagian besar perkanan Indonesia Overfishing

Sering diungkapkan bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang terpulihkan. Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini tak satupun fakta yang mampu menunjukkan kebenaran thesis tersebut. Produksi perikanan dunia terus mengalami penurunan dan bahkan overfishing dan punah. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan sebab-sebab kerusakan perikanan dunia ditinjau dari pendekatan pengelolaan perikanan konvensional serta mencoba mendiskusikan altenatif pengelolaan dan metode pemanfaatan sumberdaya ikan ke depan.

Pauly, et al., 2002 [1] mengatakan bahwa kegiatan perikanan (baca: penangkapan ikan) sebenaranya adalah merupakan suatu kegiatan pengejaran atau perburuan hewan air, seperti perburuan hewan-hewan darat lainnya seperti rusa, kelinci atau hewan-hewan lainnnya di hutan. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa tidak ada perburuan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika kegiatan perburuan itu dijadikan industri dalam skala besar? Pertimbangan aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek lainnya. Satuan upaya perburuan tersebut akan melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumberdaya yang bersangkutan.
Dimulai pada awal abad 19 ketika nelayan Inggris mengoperasikan steam trawl, kegiatan perikanan berkembang pesat dan menjadi komoditas industri dan perdagangan. Sadar akan kerusakan yang timbul akibat exploitasi yang “rakus” tersebut, ilmuwan biologi perikanan mengembangkan beberapa model pengelolaan perikanan. Model-model pengelolaan perikanan konvensional tersebut kemudian diaplikasikan di berbagai perairan di belahan bumi guna menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Meskipun model-model tersebut terus berkembang dan mengalami perbaikan, namun tak satupun model pengelolaan yang ada mampu menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Ada beberapa alasan yang bisa diungkapkan disini kenapa model-model konvensional pengelolaan sumberdaya ikan tersebut gagal dalam menghambat kerusakan sumberdaya ikan.

Secara umum, model-model pengelolaan perikanan konvensioanl yang dikembangkan selama ini didasarkan atas positivistic science yang berasumsi bahwa ekosistem alam ini dapat diprediksi dan dikontrol [2]. Dalam kenyataannya, asumsi ini sangat susah untuk dipenuhi. Disamping kemampuan manusia untuk memprediksi perilaku ekosistem alam terbatas, perilaku ekosistem sendiri juga sangat susah untuk diprediksi. Sehingga, model-model yang berbasis kesetimbangan yang banyak diadopsi dalam pengelolaan sumberdaya ikan (seperti nilai maximum sustainable yields, MSY), tidak dapat diterapkan dengan baik. Bukan karena ketersediaan data yang terbatas, tapi yang lebih utama adalah kegagalan dalam mengadopsi perilaku ekosistem [3] dalam modelnya. Sehingga, penentuan reference point (nilai acuan) kapasitas maksimum lingkungan yang menjadi dasar dalam penentuan batas maksimum variabel keputusan (seperti MSY) menemui ketidak-akuratan. Kesalahan, baik itu lebih atau kurang (dari kapasitas maksimum sesungguhnya) akan berdampak yang buruk bagi pengelolaan sumberdaya ikan [4].
Alasan berikutnya adalah model-model pengelolaan perikanan konvensional yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal pada perikanan industri di belahan bumi utara bagian barat, tidak cocok diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan bersifat multigear-multispecies. Padahal, bumi bagian selatan yang merupakan negara berkembang, dimana perikanannya didominasi oleh perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58% produksi perikanan dunia [5]. Perbedaan skala, sistem penangkapan ikan dan ekosistem perairan, menyebabkan model-model konvensional tidak mampu untuk menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Pengelolaan perikanan, pada hakekatnya adalah pengelolaan ekosistem, dimana keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya sangat erat hubungan sebab akibatnya. Perubahan pada satu elemen ekosistem akan merubah struktur secara keseluruhan ekosistem tersebut. Ketidak mampuan model untuk menjelaskan kompleksitas perikanan ini, telah diyakini menjadi penyebab perubahan struktur ekosistem perikanan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi produksi ikan dan overfishing di hampir seluruh wilayah daerah tropis.

Pada sisi lainnya, manajemen perikanan konvensioanal yang hanya terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek sosial juga disinyalir menjadi salah satu penyebab ketidak-berhasilan model-model konvensioanal. Padahal, management perikanan pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk mengontrol upaya penangkapan, atau kongkretnya mengatur nelayan, pelaku utama kegiatan perikanan, dalam mengoperasikan alat tangkapnya, kapan, dimana dan seberapa besar kapasitas perikanan yang boleh digunakan. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang dinamika perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan termasuk di dalamnya aspek sosial-ekonomi nelayan yang melatar-belakanginya, sangatlah penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Hilborn, 1985 [6] mengungkapkan bahwa krisis perikanan cod dan salmon di Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah karena ketidak mampuan model dalam memperediksi ekologi semata tapi karena dinafikkannya aspek perilaku nelayan ini dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Penurunan stok ikan, perubahan komposisi sumberdaya ikan, serta meningkatnya kompetisi antar nelayan, telah mendorong nelayan untuk melakukan upaya-upaya efisiensi dengan menambah daya kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang kesemuanya mengakibatkan meningkatnya kapasitas penangkapan ikan. Subsidi pemerintah yang tak terencana, juga diyakini telah mendorong nelayan untuk meningkatkan upaya penangkapan ikan. Motorisasi kapal nelayan yang tidak dibarengi dengan upaya peningkatan pemahaman nelayan akan pengelolaan sumberdaya ikan telah menyebabkan meningkatnya tekanan penangkapan di daerah pesisir. Dalam beberapa kasus, nelayan melakukan perubahan atau modifikasi ukuran kapal, alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan guna mengelabuhi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga penghitungan satuan upaya penangkapan dalam model perikanan konvensioanal yang hanya berbasis pada jumlah armada penangkapan akan menyesatkan.

Ketidakmampuan model konvensional dalam mengoptimalkan tujuan pengelolaan itu sendiri, juga diyakini menjadi penyebab gagalnya model-model pengelolaan sumberdaya ikan konvensional dalam menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ditujukan untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu: ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sangatlah bertentangan dan tidak mungkin untuk dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada perusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada. Namun, dari ketiga model tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk mengoptimalkan seluruh tujuan pengelolaan sumberdaya ikan. Yang ada adalah, dengan nilai acuan MSY yang masih diragukan nilainya itu, sebagian besar negara berkembang mengesampingkan aspek biologi dan sosial dan terus membuka akses penangkapan ikan untuk tujuan devisa negara.

1.Pengelolaan Sumberdaya Ikan ke Depan

Selama masih didasarkan pada model-model konvensional yang memahami perikanan secara linear, dapat diduga, species tunggal dan kesetimbangan sistem, pengelolaan perikanan tidak akan berhasil. Oleh sebab itu sangat berbahaya jika pengelolaan perikanan khususnya perikanan industri di daerah tropis masih didasarkan pada model-model konvensional ini. Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun sudah merupakan jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah tropis. Oleh karena itu pendekatan sosial-ekologi yang mengakomodasikan aspek ekologi dan sosial dalam suatu sistem layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan. Perikanan harus dipandang sebagai integrasi sistem sosial-ekologi dengan dua arah umpan balik dan sistem adaptasi yang komplek. Pengelolaan perikanan bukan lagi ditujukan untuk menjawab pertanyaan “kemana perikaan ingin kita arahkan?” tetapi “bagaimana kita berubah menuju arah yang dikehendaki?” Pengelolaan sumberdaya ikan yang didasarkan pada nilai acuan (seperti MSY), sudah saatnya dicarikan alternatif penggantinya, dengan menggunakan rujukan arah kecenderungan perkembangan sumberdaya tersebut (misalnya perubahan komposisi hasil tangkapan, ukuran hasil tangkapan, dsb).

Pendekatan ecosystem based management (EBM) untuk pengelolaan sumberdaya ikan mungkin merupakan salah satu metoda alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan yang komplek. The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa EBM mengemban sedikitnya 4 aspek utama [7]: (1) interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan species mangsa; (2) pengaruh musim dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu species yang mempunyai dampak terhadap species lain di dalam ekosistem. Bila dalam penjelasan EPAP tidak disebutkan secara langsung tentang bagimana mengelola perilaku orang atau manusia sebagai komponen ekosistem dimana mereka hidup dan memanfaatkan sumberdaya, tetapi sesungguhnya unsur manusia telah masuk di dalamnya. Di lain pihak, the National Research Council of the USA (NRC) dalam definisinya menyebutkan manusia sebagai komponen sekaligus pengguna dalam ekosistem secara langsung serta membedakan antara ekosistem dan pengguna ekosistem tersebut. Disebutkan juga bahwa tujuan akhir dari EBM adalah menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem. Sebagai alat monitoring ekosistem, EBM kemudian dilengkapi dengan indikator ekologi untuk mengukur perubahan ekosistem yang dimaksud. Indikator-indikator ini diupayakan lebih berarti secara ekologi, mudah dipahami dan diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil monitoring ini diharapkan perubahan ekosistem termasuk manusia yang ada di dalamnya mudah dijelaskan, sehingga keadaan ekosistem secara keseluruhan akan diketahui dan tindakan perbaikan dapat dilakukan secapatnya untuk mengatasi kerusakan yang ada. Sebagai contoh, Rochet and Trenkel, 2003 [8] mengelompokkan indikator perubahan sumberdaya ikan menjadi 3 kelompok besar yaitu (1) indicator pada tingkat populasi; (2) indicator pada tingkat antar species ikan dan (3) indicator pada tingkat kelompok ikan.

Pada tataran pelaksanaan, EBM sering disandingkan dengan marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumberdaya dari eksploitasi agar sumberdaya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumberdaya yang telah rusak. Mous et. al, 2005 [9] dalam kajiannya telah mengungkapkan keunggulan MPA dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang menggunakan nilai acuan (seperti MSY). Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA.

Sampai saat ini, model-model pengelolaan perikanan terus dikembangkan guna memperbaiki kekurangan model yang telah dikembangkan sebelumnya. Perkembangan ilmu statistika dan komputer juga telah membantu ahli biologi ikan untuk mengembangkan model-model yang lebih rumit. Namun demikian, karena masih berbasis pada model-model konvensional yang bercirikan species tunggal, terpusat pada biologi populasi ikan dan mengesampingkan aspek sosial-ekologi perikanan dan berasumsi bahwa dinamika perikau populasi dapat diduga, belum juga mampu menghambat kerusakan populasi ikan dunia. Ke depan, karena perikanan dunia hampir 58 % di daerah berkembang beriklim tropis, orientasi pengelolaan perikanan perlu diubah dengan memandang sosial-ekologi perikanan sebagai suatu sistem. Alat pengelolaan perikanan bukan berorientasi pada pengukuran nilai acuan pengelolaan semata namun harus juga berisi metoda bagaimana cara menanggulangi suatu perubahan dalam sistem. Pemahaman yang menyeluruh ini akan memudahkan seorang manajer perikanan mampu untuk memberikan alternatif tindakan ketika suatu elemen sistem mengalami perubahan atau kerusakan. Salah satu metode pendekatan yang sudah dikembangkan untuk pendekatan ini adalah Ecosystem Based Management (EBM).